Senin, 10 Januari 2011

Pemilukada dan Artikulasi Demokrasi


Permasalahan pemilukada sudah lama menjadi agenda perdebatan publik Indonesia. Hal ini  berkaitan dengan masalah ratusan juta suara rakyat yang memiliki hak absolut untuk didengar.  Pemilukada merupakan alternatif pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat sebagai pemegang amanah tertinggi dalam kehidupan negara demokrasi. Namun, pemilukada yang digadang-gadang dapat mewadahi aspirasi rakyat banyak menuai pro dan  kontra terkait dengan pelaksanaannya.
Pemilukada mulai diterapkan di Indonesia sejak disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Namun dalam pelaksanaannya, pemilukada mengalami beberapa kendala terkait dengan pelanggaran oleh peserta pemilukada maupun para simpatisannya . Sehingga pemilukada banyak dilihat sebagai pembawa permasalahan baru bagi Indonesia.
Di sisi lain, pemilukada merupakan bentuk artikulasi tersendiri bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Pemilukada merupakan bentuk demokrasi langsung (direct democracy) sebagaimana yang telah diamanatkan dalam pasal 18(4) UUD 1945. Pemilukada juga merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai bentuk konkrit dari konsep demokrasi di tingkat daerah yang berdasarkan Pancasila. Selain itu, pemilukada merupakan sarana bagi rakyat di tingkat daerah untuk belajar berpolitik dengan menggunakan hak pilihnya secara langsung.
Sedangkan peraturan teknis pelaksanaan pilkada sebagai turunan UU No. 32 Tahun 2004, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 yang kemudian mengalami perubahan menjadi Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2007 tentang perubahan kedua dan Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2008 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005. Sebagai bentuk penyempurnaan dasar hukum pemilukada, kemudian juga dilahirkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemilukada sebagai pencerminan demokrasi merupakan perjuangan panjang yang dilakukan oleh rakyat, yang juga memberikan kebebasan bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi politiknya yang terbungkam selama Orde Baru menguasai Indonesia. Sehingga apabila pemilukada dihapuskan maka sama saja dengan mengkhianati perjuangan rakyat selama 32 tahun yang terpenjara dalam kungkungan rezim otoriter.
Pemilukada saat ini merupakan sarana paling tepat yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan rakyat dalam proses demokrasi untuk mencapai konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi merupakan tujuan  akhir dari proses demokrasi sebagaimana yang dikatakan oleh Larry Diamond dalam bukunya "Developing Democracy Toward Consolidation".
Konsolidasi demokrasi harus memenuhi beberapa syarat yaitu tidak banyak kelompok politik yang menolak demokrasi atau memisahkan diri dari negara, mayoritas rakyat percaya bahwa prosedur dan institusi demokrasi adalah cara yang paling efektif mengatur kehidupan bersama, dan semua aktor politik terbiasa untuk menyelesaikan konflik antar mereka dengan mengacu pada resolusi hukum, prosedur dan institusi pemaksa dalam proses demokrasi (Diamond, 1999).

Pemilukada merupakan alternatif  terbaik dalam memilih kepala daerah. Hal ini dikarenakan dalam proses pemilihannya akan menciptakan kedekatan atara calon kepala daerah dan rakyat. Melalui pemilukada, rakyat juga akan mengenal secara lebih mendalam tentang karakter dan visi-misi yang diusung oleh calon kepala daerah sehingga rakyat dapat menentukan pilihan politiknya secara objektif.

Berkaca dari masa lalu, pemilihan kepala daerah yang diwakili oleh DPRD yang merupakan representasi rakyat tidak lebih dari transaksi politik tingkat elit. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga memunculkan bias dominasi partai. Melalui sistem ini, kepala daerah yang akan terpilih bisa dilihat dari partai mana yang mendominasi parlemen. Padahal, kondisi suara rakyat yang berasal dari hati nurani merupakan hal yang fluktuatif. Sehingga pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan kurang merepresentasikan aspirasi rakyat.

Mengenai beberapa permasalahan yang selama ini muncul dari pelaksanaan pemilukada, seharusnya pemerintah mencarikan solusi yang tepat bukan dengan menghapuskan pemilukada yang berarti sama saja dengan membungkam hak demokrasi rakyat.
Jika selama ini alasan pemerintah mengenai dampak pemilukada secara langsung adalah pemborosan dana APBD setiap daerah yang mana rata-rata menghabiskan dana alokasi sebesar 10 milyar-50 milyar, maka jalan akhir bukanlah melakukan pemilukada melalui DPRD, karena pada kenyataan yang terjadi adalah struktur hirarki pemerintah negara dengan masyarakat di Indonesia tidak memiliki kesempatan negosiasi yang efektif. Kesempatan tawar masyarakat dalam pelaksanaan partisipasi kenegaraan hanya sampai tingkat prosedural dan akan menjadi lebih buruk tatkala pemilukada nantinya hanya sampai pada suara fraksi di DPRD. Mahalnya biaya pemilukada bisa direduksi dengan pemilihan kepala daerah secara serempak di seluruh daerah karena dengan sistem ini maka pemilukada akan terlaksana seperti halnya pemilihan legislatif.
Mengenai kecurangan dan kerusuhan yang terjadi, pemerintah seharusnya mengambil langkah insiatif untuk memberikan pendidikan dan pemahaman politik secara komprehensif agar rakyat memiliki kedewasaan politik. Karena akan sama saja ketika pemilihan kepala daerah oleh DPRD namun masih terjadi transaksi jual beli suara dengan calon kepala daerah yang akan berujung pada pengkhianatan terhadap rakyat. Selain itu KPUD, pengawas pemilukada, dan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilukada harus difungsikan secara objektif dan independen dalam mengawal jalannya pesta demokrasi rakyat. Sehingga dari proses yang bersih ini akan muncul kepala daerah yang berkualitas, bukan dengan solusi menghapus pemilukada.

Banyak alternatif pemilukada yang mampu mereduksi kecurangan-kecurangan, salah satunya adalah e-voting. Menurut ketua KPU Prof. Dr. Abdul Hafiz Anshari proses pemilukada  melalui  e-voting dapat menekan angka alokasi dana, jika dalam pemilukada konvensional menghabiskan dana 2,8 triliun namun dengan e-voting untuk  logistik diprediksikan hanya dibutuhkan anggaran  sekitar 250 milyar rupiah. Yang penting penyelenggaraan pemilu dengan e-voting harus dilandasi dengan regulasi yang representatif berupa undang-undang.
           
Hal yang terpenting yang jangan sampai terlupakan adalah masalah penataan pendidikan rasional pemilukada bagi rakyat. Karena jika saja pendidikan ini sudah lama dijalankan, tentunya penyaluran suara langsung tidak akan menjadi kendala seperti sekarang. Selain itu, pelaksanaan pemilukada tetap merupakan hal yang paling ideal dalam kehidupan demokrasi karena telah sesuai dengan semboyannya, yakni dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Apabila kemudian pemilukada dihapus dan diganti dengan pilkada oleh DPRD atau penunjukkan oleh Presiden, maka sama dengan meludahi esensi demokrasi.

Rujukan:
Diamond, Larry. 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation. Baltimore,            Maryland: The Johns Hopkins University Press.
PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
PP No. 6 Tahun 2005
PP No. 25 Tahun 2007
PPNo. 49 Tahun 2008
Undang-Undang Dasar 1945
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 12 Tahun 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar