Senin, 10 Januari 2011

Bungkusan Hitam di Tanganku

Gemericik air menetes membasahi bumi. Cipratan-cipratan air yang jatuh di genangan air menari-nari riang. Dedaunan kuyub berkilau ditimpa sinar lampu temaram. Dentangan-dentangan air jatuh dari kolong langit menyuarakan irama merdu tatkala mendera atap seng tua yang melindungiku dari dinginnya air hujan. Namun angin malam tetap menyiksaku, dalam kesendirian yang menyeramkan. Kegelapan malam menyelimutiku yang masih terpatung bersandar papan hitam yang tak kalah dingin dari bongkahan es.
Bungkusan hitam tergenggam erat dalam tanganku yang mulai lemah. Tubuhku menggigil mendekap nasibku yang terus terombang-ambing oleh badai kehidupan yang kelam. Gigiku gemerutuk tak menentu saling bertumbuk. Namun aku tetap berusaha bertahan, walaupun kepalaku mulai merasa berat menanggung beban hidup yang semakin mendurja.
Aku masih terdiam. Rumahku masih jauh, sedangkan curahan hujan terus menyemai bumi yang hampir mati. Cipratan-cipratan air masih menari-nari seakan mengejekku, menyanyikan lagu ironi yang menyayat hati. Seakan-akan mereka berkata, “Kau tak lebih mujur daripada kami karena tak lama lagi akan masuk ke kubangan yang hina”. Aku hanya tersenyum kecut tak mampu menerawang jauh memandang nasibku. Ya, mungkin inilah yang disebut nasib.
Aku masih tidak bergerak. Pikiranku melayang jauh menembus batas imajinasiku yang masih sederhana. Pikiranku dijejali bayangan sesosok tubuh yang kini hanya bisa terbaring lemah, tergolek tak berdaya karena serangan penyakit yang hingga kini akupun tak tahu namanya karena tak ada biaya untuk sekedar bertanya. Jangankan untuk menanyakan tentang penyakitnya, untuk makan pun kami harus mengais dari sisa kesenangan orang lain berebut dengan kucing dan anjing kumal.
Ya, dia ibuku. Ibu yang selama ini mengasuhku dan menyemangatiku meski hidup tak pernah menentu. Hidup memang lebih sering datang menyiksa keinginan orang miskin seperti aku. Namun dia tetap menjadi lentera yang menyinari jalan hidupku dengan petuah-petuah yang katanya merupakan warisan yang ditinggalkan oleh mendiang nenekku. Dialah yang selama ini selalu memberikan harapan masa depanku walaupun aku kadang berkecil hati.
Aku sering iri melihat orang kaya yang datang dan pergi menaiki mobil mengkilat. Mengenakan pakaian indah yang mungkin untuk membeli kancingnya pun aku tidak akan sanggup. Orang yang lebih sering terlihat tertawa lepas, berbeda dengan aku yang lebih sering menangis karena dua hari perutku tidak dikunjungi nasi walaupun hanya sesuap. Orang yang rasanya aku ingin menghiba meminta dan berharap padanya untuk sekedar menolongku membelikan seteguk air harapan. Namun ibuku selalu berkata padaku, “Hidup ini roda, kadang kita harus menanggung beban yang berat karena kita berada di bawah, namun yakinlah suatu saat kita akan berada di atas. Jangan jadikan dirimu hina dihadapan manusia yang lain karena engkau mengemis kepada mereka disebabkan kemiskinanmu”. Itulah kata-kata yang selalu terngiang di kepalaku sehingga menguatkanku untuk tetap berdiri menantang zaman.
Tapi kini ibuku sedang berjuang mempertahankan sisa umurnya. Ku teringat wajahnya yang meski pucat tapi masih tetap memancarkan cinta dan semangat padaku untuk tidak menyerah kepada nasib. Tangannya yang lemah masih sering membelaiku meski tak sehalus dulu. Senyumnya yang meski agak sedikit dipaksakan tetap mengembang di bibirnya membesarkan jiwaku. Bertahanlah ibu…
Ingatanku pada ibuku terus menyiksaku sehingga tak lagi kupedulikan hujan yang masih mengguyur dengan deras. Ku berjalan setengah berlari menembus gelapnya bayangan malam dan lebatnya hujan. Demi ibu, batinku.
***
Ingatanku kembali melayang. Ku teringat pada ayahku yang telah lama meninggalkan aku menuju alam kekekalan. Meninggalkan ibu, aku, dan dua orang adikku. Bayangannya masih jelas di pelupuk otakku tatkala dia terbaring lemah menunggu kedatangan malikat penjemput. Garis wajahnya tetap keras sebagai seorang kepala keluarga yang setiap hari membanting tulang menafkahi keluarganya. Ayahku berbisik pelan kepadaku, “Kini sudah tiba masaku. Kini kau yang akan menggantikan aku sebagai tulang punggung kelurga”. “Aku takut ayah,,,” balasku padanya tanpa bisa menahan deraian air mata yang membanjiri wajahku. “Kau tidak boleh takut, putraku tidak cengeng” katanya pelan. Ayahpun menutup mata untuk selamanya, menutup mata dari menatapku dan dunia.
Setelah kepergian ayahku, aku pun menggantikan peran ayah untuk mencari makan. Aku sering mengeluh pada nasib, mengapa aku harus miskin. Andai saja aku punya uang, mungkin nasibku tidak akan seperti ini, mungkin juga ayahku masih bisa selamat. Tapi biaya berobat buat ayahku terlalu mahal sehingga ayah hanya menahan sakit yang semakin menjadi-jadi seiring bertambahnya waktu. Aku juga sering bertanya pada diriku sendiri, mengapa berobat harus mahal? Bukankah kesehatan merupakan hak bagi siapa saja? Mengapa orang miskin selalu menjadi orang yang tersisih? Bukankah kami juga manusia, yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama? Lihatlah, kami bukan sampah…
***
Karena ibulah aku beranikan diri untuk meminjam sedikit uang dari tetanggaku yang keadaannya lebih baik daripada kami. Aku semakin tidak tega melihat beban sakit yang diderita ibu. Aku tidak rela tonggak hidup yang selama ini mengokohkan kakiku dalam mengarungi kehidupan kini merintih menahan sakit. Entah karena melihat wajahku yang memelas atau memang merasa iba, tetanggaku memberi aku pinjaman uang untuk sekedar membeli obat penghilang rasa sakit.
Kutempuh perjalanan lima kilometer demi ibu. Tak kupedulikan perutku yang sejak pagi belum terisi sesuap nasipun. Aku pergi ke apotik yang ada di kota untuk membeli obat penghilang rasa sakit agar ibuku tetap bisa bertahan. Aku tidak bisa membawanya ke rumah sakit karena keadaan kami yang serba kekurangan. Aku suruh kedua adikku untuk menjaganya ketika aku pergi.
Matahari telah menguning ketika aku sampai di kota. Hiruk pikuk kehidupan sore tak mengganggu jalanku. Pikiranku hanya teringat pada ibu, ibu, dan ibu. Ku cari apotik untuk segera mendapatkan obat. Agak lama aku mencarinya. Akhirnya aku melihat sebuah rumah yang banyak menyediakan obat-obatan, pasti itu apotiknya.
Segera setelah aku dapatkan obat yang aku beli dengan uang yang ada, kulangkahkan kakiku dengan gontai menyusuri jalan pulang. Angin semilir membelai lembut tubuhku yang semakin panas menahan lapar yang menggigit. Awan hitam terlihat menggatung di kolong langit pertanda hujan akan segara membasahi bumi yang kering. Hujan yang mengingatkan aku pada kasih sayang ibuku yang tercurah tanpa pamrih.
Benar saja, belum jauh dari kota hujan telah turun dengan deras sehingga memaksaku berteduh di sebuah rumah kecil yang kelihatannya telah lama tidak ditempati, gelap dan kosong. Aku sandarkan tubuhku yang menggigil kedinginan di diding yang ternyata lebih dingin. Pikiranku terus melayang.
***
Ku percepat langkahku menyusuri jalan setapak membelah gelapnya malam. Nyanyian binatang malam menemaniku sepanjang perjalanan. Pikiranku terus berkecamuk memikirkan ibuku yang masih terbaring lemah. Ku genggam bungkusan hitam semakin erat, tunggulah aku ibu.
Setelah beberapa lama kemudian aku menyusuri gelapnya malam kulihat segerombolan rumah-rumah kumuh tak beraturan. Dindingnya tak lebih dari sekedar penghalang angin malam, atapnya hanya tumpukan seng yang mulai berkarat. Entah berapa kali rumah-rumah itu digusur oleh pria-pria berpakaian hijau yang mengatasnamakan ketertiban dan keindahan tetapi tidak memperhatikan kemana penghuninya akan  pergi setelah itu.
Di salah satu rumah itulah aku tinggal bersama ibu dan dua orang adikku. Sebenarnya tak pantas disebut rumah, lebih pantas disebut gubuk, mungkin gubuk derita seperti kata salah satu penyanyi ibukota. Di tempat itulah aku merangkai mimpi untuk menggapai bintang, merajut asa yang sering terkikis oleh terpaan badai kesengsaraan. Tetapi, di tempat itu pulalah aku merasa berada di surga.
Tak lama kemudian aku sampai di depan rumahku. Cahaya temaram lampu teplok menari-nari diterpa angin. Air hujan mengalir menggenangi tanah di mana tempatku berdiri. Ku dengar suara sayup-sayup suara dari dalam. Suara yang menenggelamkan setiap jiwa yang mendengarnya ke dalam jurang nestapa.
Ku buka pintu rumahku pelan-pelan agar ibuku tidak terganggu oleh dernyit daun pintu yang lebih mirip pintu kamar mandi umum. Tapi yang kulihat hanya dua sosok adikku duduk disamping dipan kayu yang telah mulai rapuh dimana terbujur sesosok wanita paruh baya. Mereka tampak tertunduk menyelami nasib yang tiada berbelas hati. Aku hanya terdiam terpaku di tengah pintu, memandang kegelapan yang semakin menyesakkan kalbu. Genggaman hitam di tanganku terjatuh tanpa bisa aku menahannya. Dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

1 komentar: