Rabu, 12 Januari 2011

Negeri Kata Orang

Negeriku,,,
sejuta puisi tak mampu mensajakkan keceriaanmu,,,
sejuta kata tak kuasa menceritakan keelokanmu,,,
sejuta  kanvas tak sanggup melukiskan keindahanmu,,,
sejuta senyum tak berdaya menggambarkan keramahanmu.

Negeriku tercinta,,,
negeri yang kata orang tempat tinggal para dewa,,,
negeri yang kata orang tongkat pun bisa tumbuh disana,,,
negeri yang kata orang didamba oleh wisatawan manca,,,
negeri yang kata orang menjunjung tinggi keragaman bangsa.

Tapi tiba-tiba kutersentak,
terbangun dari mimpi indah tentang negeriku.

Aku pun tersadar,,,
negeriku kini lahan bencana,
negeriku kini sarang penyamun bangsa,
negeriku kini hanya mirip kacung negara adidaya,
negeriku kini hanya,,,
Ah, aku tak dapat lagi mengatakannya.

Aku hanya bisa terdiam,,,
memandang mendung hitam menggantung di angkasa,,,
yang menorehkan sejuta nelangsa,,,
walaupun aku yakin bahwa harapan masih ada.

Senin, 10 Januari 2011

Bungkusan Hitam di Tanganku

Gemericik air menetes membasahi bumi. Cipratan-cipratan air yang jatuh di genangan air menari-nari riang. Dedaunan kuyub berkilau ditimpa sinar lampu temaram. Dentangan-dentangan air jatuh dari kolong langit menyuarakan irama merdu tatkala mendera atap seng tua yang melindungiku dari dinginnya air hujan. Namun angin malam tetap menyiksaku, dalam kesendirian yang menyeramkan. Kegelapan malam menyelimutiku yang masih terpatung bersandar papan hitam yang tak kalah dingin dari bongkahan es.
Bungkusan hitam tergenggam erat dalam tanganku yang mulai lemah. Tubuhku menggigil mendekap nasibku yang terus terombang-ambing oleh badai kehidupan yang kelam. Gigiku gemerutuk tak menentu saling bertumbuk. Namun aku tetap berusaha bertahan, walaupun kepalaku mulai merasa berat menanggung beban hidup yang semakin mendurja.
Aku masih terdiam. Rumahku masih jauh, sedangkan curahan hujan terus menyemai bumi yang hampir mati. Cipratan-cipratan air masih menari-nari seakan mengejekku, menyanyikan lagu ironi yang menyayat hati. Seakan-akan mereka berkata, “Kau tak lebih mujur daripada kami karena tak lama lagi akan masuk ke kubangan yang hina”. Aku hanya tersenyum kecut tak mampu menerawang jauh memandang nasibku. Ya, mungkin inilah yang disebut nasib.
Aku masih tidak bergerak. Pikiranku melayang jauh menembus batas imajinasiku yang masih sederhana. Pikiranku dijejali bayangan sesosok tubuh yang kini hanya bisa terbaring lemah, tergolek tak berdaya karena serangan penyakit yang hingga kini akupun tak tahu namanya karena tak ada biaya untuk sekedar bertanya. Jangankan untuk menanyakan tentang penyakitnya, untuk makan pun kami harus mengais dari sisa kesenangan orang lain berebut dengan kucing dan anjing kumal.
Ya, dia ibuku. Ibu yang selama ini mengasuhku dan menyemangatiku meski hidup tak pernah menentu. Hidup memang lebih sering datang menyiksa keinginan orang miskin seperti aku. Namun dia tetap menjadi lentera yang menyinari jalan hidupku dengan petuah-petuah yang katanya merupakan warisan yang ditinggalkan oleh mendiang nenekku. Dialah yang selama ini selalu memberikan harapan masa depanku walaupun aku kadang berkecil hati.
Aku sering iri melihat orang kaya yang datang dan pergi menaiki mobil mengkilat. Mengenakan pakaian indah yang mungkin untuk membeli kancingnya pun aku tidak akan sanggup. Orang yang lebih sering terlihat tertawa lepas, berbeda dengan aku yang lebih sering menangis karena dua hari perutku tidak dikunjungi nasi walaupun hanya sesuap. Orang yang rasanya aku ingin menghiba meminta dan berharap padanya untuk sekedar menolongku membelikan seteguk air harapan. Namun ibuku selalu berkata padaku, “Hidup ini roda, kadang kita harus menanggung beban yang berat karena kita berada di bawah, namun yakinlah suatu saat kita akan berada di atas. Jangan jadikan dirimu hina dihadapan manusia yang lain karena engkau mengemis kepada mereka disebabkan kemiskinanmu”. Itulah kata-kata yang selalu terngiang di kepalaku sehingga menguatkanku untuk tetap berdiri menantang zaman.
Tapi kini ibuku sedang berjuang mempertahankan sisa umurnya. Ku teringat wajahnya yang meski pucat tapi masih tetap memancarkan cinta dan semangat padaku untuk tidak menyerah kepada nasib. Tangannya yang lemah masih sering membelaiku meski tak sehalus dulu. Senyumnya yang meski agak sedikit dipaksakan tetap mengembang di bibirnya membesarkan jiwaku. Bertahanlah ibu…
Ingatanku pada ibuku terus menyiksaku sehingga tak lagi kupedulikan hujan yang masih mengguyur dengan deras. Ku berjalan setengah berlari menembus gelapnya bayangan malam dan lebatnya hujan. Demi ibu, batinku.
***
Ingatanku kembali melayang. Ku teringat pada ayahku yang telah lama meninggalkan aku menuju alam kekekalan. Meninggalkan ibu, aku, dan dua orang adikku. Bayangannya masih jelas di pelupuk otakku tatkala dia terbaring lemah menunggu kedatangan malikat penjemput. Garis wajahnya tetap keras sebagai seorang kepala keluarga yang setiap hari membanting tulang menafkahi keluarganya. Ayahku berbisik pelan kepadaku, “Kini sudah tiba masaku. Kini kau yang akan menggantikan aku sebagai tulang punggung kelurga”. “Aku takut ayah,,,” balasku padanya tanpa bisa menahan deraian air mata yang membanjiri wajahku. “Kau tidak boleh takut, putraku tidak cengeng” katanya pelan. Ayahpun menutup mata untuk selamanya, menutup mata dari menatapku dan dunia.
Setelah kepergian ayahku, aku pun menggantikan peran ayah untuk mencari makan. Aku sering mengeluh pada nasib, mengapa aku harus miskin. Andai saja aku punya uang, mungkin nasibku tidak akan seperti ini, mungkin juga ayahku masih bisa selamat. Tapi biaya berobat buat ayahku terlalu mahal sehingga ayah hanya menahan sakit yang semakin menjadi-jadi seiring bertambahnya waktu. Aku juga sering bertanya pada diriku sendiri, mengapa berobat harus mahal? Bukankah kesehatan merupakan hak bagi siapa saja? Mengapa orang miskin selalu menjadi orang yang tersisih? Bukankah kami juga manusia, yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama? Lihatlah, kami bukan sampah…
***
Karena ibulah aku beranikan diri untuk meminjam sedikit uang dari tetanggaku yang keadaannya lebih baik daripada kami. Aku semakin tidak tega melihat beban sakit yang diderita ibu. Aku tidak rela tonggak hidup yang selama ini mengokohkan kakiku dalam mengarungi kehidupan kini merintih menahan sakit. Entah karena melihat wajahku yang memelas atau memang merasa iba, tetanggaku memberi aku pinjaman uang untuk sekedar membeli obat penghilang rasa sakit.
Kutempuh perjalanan lima kilometer demi ibu. Tak kupedulikan perutku yang sejak pagi belum terisi sesuap nasipun. Aku pergi ke apotik yang ada di kota untuk membeli obat penghilang rasa sakit agar ibuku tetap bisa bertahan. Aku tidak bisa membawanya ke rumah sakit karena keadaan kami yang serba kekurangan. Aku suruh kedua adikku untuk menjaganya ketika aku pergi.
Matahari telah menguning ketika aku sampai di kota. Hiruk pikuk kehidupan sore tak mengganggu jalanku. Pikiranku hanya teringat pada ibu, ibu, dan ibu. Ku cari apotik untuk segera mendapatkan obat. Agak lama aku mencarinya. Akhirnya aku melihat sebuah rumah yang banyak menyediakan obat-obatan, pasti itu apotiknya.
Segera setelah aku dapatkan obat yang aku beli dengan uang yang ada, kulangkahkan kakiku dengan gontai menyusuri jalan pulang. Angin semilir membelai lembut tubuhku yang semakin panas menahan lapar yang menggigit. Awan hitam terlihat menggatung di kolong langit pertanda hujan akan segara membasahi bumi yang kering. Hujan yang mengingatkan aku pada kasih sayang ibuku yang tercurah tanpa pamrih.
Benar saja, belum jauh dari kota hujan telah turun dengan deras sehingga memaksaku berteduh di sebuah rumah kecil yang kelihatannya telah lama tidak ditempati, gelap dan kosong. Aku sandarkan tubuhku yang menggigil kedinginan di diding yang ternyata lebih dingin. Pikiranku terus melayang.
***
Ku percepat langkahku menyusuri jalan setapak membelah gelapnya malam. Nyanyian binatang malam menemaniku sepanjang perjalanan. Pikiranku terus berkecamuk memikirkan ibuku yang masih terbaring lemah. Ku genggam bungkusan hitam semakin erat, tunggulah aku ibu.
Setelah beberapa lama kemudian aku menyusuri gelapnya malam kulihat segerombolan rumah-rumah kumuh tak beraturan. Dindingnya tak lebih dari sekedar penghalang angin malam, atapnya hanya tumpukan seng yang mulai berkarat. Entah berapa kali rumah-rumah itu digusur oleh pria-pria berpakaian hijau yang mengatasnamakan ketertiban dan keindahan tetapi tidak memperhatikan kemana penghuninya akan  pergi setelah itu.
Di salah satu rumah itulah aku tinggal bersama ibu dan dua orang adikku. Sebenarnya tak pantas disebut rumah, lebih pantas disebut gubuk, mungkin gubuk derita seperti kata salah satu penyanyi ibukota. Di tempat itulah aku merangkai mimpi untuk menggapai bintang, merajut asa yang sering terkikis oleh terpaan badai kesengsaraan. Tetapi, di tempat itu pulalah aku merasa berada di surga.
Tak lama kemudian aku sampai di depan rumahku. Cahaya temaram lampu teplok menari-nari diterpa angin. Air hujan mengalir menggenangi tanah di mana tempatku berdiri. Ku dengar suara sayup-sayup suara dari dalam. Suara yang menenggelamkan setiap jiwa yang mendengarnya ke dalam jurang nestapa.
Ku buka pintu rumahku pelan-pelan agar ibuku tidak terganggu oleh dernyit daun pintu yang lebih mirip pintu kamar mandi umum. Tapi yang kulihat hanya dua sosok adikku duduk disamping dipan kayu yang telah mulai rapuh dimana terbujur sesosok wanita paruh baya. Mereka tampak tertunduk menyelami nasib yang tiada berbelas hati. Aku hanya terdiam terpaku di tengah pintu, memandang kegelapan yang semakin menyesakkan kalbu. Genggaman hitam di tanganku terjatuh tanpa bisa aku menahannya. Dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Pemilukada dan Artikulasi Demokrasi


Permasalahan pemilukada sudah lama menjadi agenda perdebatan publik Indonesia. Hal ini  berkaitan dengan masalah ratusan juta suara rakyat yang memiliki hak absolut untuk didengar.  Pemilukada merupakan alternatif pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat sebagai pemegang amanah tertinggi dalam kehidupan negara demokrasi. Namun, pemilukada yang digadang-gadang dapat mewadahi aspirasi rakyat banyak menuai pro dan  kontra terkait dengan pelaksanaannya.
Pemilukada mulai diterapkan di Indonesia sejak disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Namun dalam pelaksanaannya, pemilukada mengalami beberapa kendala terkait dengan pelanggaran oleh peserta pemilukada maupun para simpatisannya . Sehingga pemilukada banyak dilihat sebagai pembawa permasalahan baru bagi Indonesia.
Di sisi lain, pemilukada merupakan bentuk artikulasi tersendiri bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Pemilukada merupakan bentuk demokrasi langsung (direct democracy) sebagaimana yang telah diamanatkan dalam pasal 18(4) UUD 1945. Pemilukada juga merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai bentuk konkrit dari konsep demokrasi di tingkat daerah yang berdasarkan Pancasila. Selain itu, pemilukada merupakan sarana bagi rakyat di tingkat daerah untuk belajar berpolitik dengan menggunakan hak pilihnya secara langsung.
Sedangkan peraturan teknis pelaksanaan pilkada sebagai turunan UU No. 32 Tahun 2004, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 yang kemudian mengalami perubahan menjadi Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2007 tentang perubahan kedua dan Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2008 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005. Sebagai bentuk penyempurnaan dasar hukum pemilukada, kemudian juga dilahirkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemilukada sebagai pencerminan demokrasi merupakan perjuangan panjang yang dilakukan oleh rakyat, yang juga memberikan kebebasan bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi politiknya yang terbungkam selama Orde Baru menguasai Indonesia. Sehingga apabila pemilukada dihapuskan maka sama saja dengan mengkhianati perjuangan rakyat selama 32 tahun yang terpenjara dalam kungkungan rezim otoriter.
Pemilukada saat ini merupakan sarana paling tepat yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan rakyat dalam proses demokrasi untuk mencapai konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi merupakan tujuan  akhir dari proses demokrasi sebagaimana yang dikatakan oleh Larry Diamond dalam bukunya "Developing Democracy Toward Consolidation".
Konsolidasi demokrasi harus memenuhi beberapa syarat yaitu tidak banyak kelompok politik yang menolak demokrasi atau memisahkan diri dari negara, mayoritas rakyat percaya bahwa prosedur dan institusi demokrasi adalah cara yang paling efektif mengatur kehidupan bersama, dan semua aktor politik terbiasa untuk menyelesaikan konflik antar mereka dengan mengacu pada resolusi hukum, prosedur dan institusi pemaksa dalam proses demokrasi (Diamond, 1999).

Pemilukada merupakan alternatif  terbaik dalam memilih kepala daerah. Hal ini dikarenakan dalam proses pemilihannya akan menciptakan kedekatan atara calon kepala daerah dan rakyat. Melalui pemilukada, rakyat juga akan mengenal secara lebih mendalam tentang karakter dan visi-misi yang diusung oleh calon kepala daerah sehingga rakyat dapat menentukan pilihan politiknya secara objektif.

Berkaca dari masa lalu, pemilihan kepala daerah yang diwakili oleh DPRD yang merupakan representasi rakyat tidak lebih dari transaksi politik tingkat elit. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga memunculkan bias dominasi partai. Melalui sistem ini, kepala daerah yang akan terpilih bisa dilihat dari partai mana yang mendominasi parlemen. Padahal, kondisi suara rakyat yang berasal dari hati nurani merupakan hal yang fluktuatif. Sehingga pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan kurang merepresentasikan aspirasi rakyat.

Mengenai beberapa permasalahan yang selama ini muncul dari pelaksanaan pemilukada, seharusnya pemerintah mencarikan solusi yang tepat bukan dengan menghapuskan pemilukada yang berarti sama saja dengan membungkam hak demokrasi rakyat.
Jika selama ini alasan pemerintah mengenai dampak pemilukada secara langsung adalah pemborosan dana APBD setiap daerah yang mana rata-rata menghabiskan dana alokasi sebesar 10 milyar-50 milyar, maka jalan akhir bukanlah melakukan pemilukada melalui DPRD, karena pada kenyataan yang terjadi adalah struktur hirarki pemerintah negara dengan masyarakat di Indonesia tidak memiliki kesempatan negosiasi yang efektif. Kesempatan tawar masyarakat dalam pelaksanaan partisipasi kenegaraan hanya sampai tingkat prosedural dan akan menjadi lebih buruk tatkala pemilukada nantinya hanya sampai pada suara fraksi di DPRD. Mahalnya biaya pemilukada bisa direduksi dengan pemilihan kepala daerah secara serempak di seluruh daerah karena dengan sistem ini maka pemilukada akan terlaksana seperti halnya pemilihan legislatif.
Mengenai kecurangan dan kerusuhan yang terjadi, pemerintah seharusnya mengambil langkah insiatif untuk memberikan pendidikan dan pemahaman politik secara komprehensif agar rakyat memiliki kedewasaan politik. Karena akan sama saja ketika pemilihan kepala daerah oleh DPRD namun masih terjadi transaksi jual beli suara dengan calon kepala daerah yang akan berujung pada pengkhianatan terhadap rakyat. Selain itu KPUD, pengawas pemilukada, dan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilukada harus difungsikan secara objektif dan independen dalam mengawal jalannya pesta demokrasi rakyat. Sehingga dari proses yang bersih ini akan muncul kepala daerah yang berkualitas, bukan dengan solusi menghapus pemilukada.

Banyak alternatif pemilukada yang mampu mereduksi kecurangan-kecurangan, salah satunya adalah e-voting. Menurut ketua KPU Prof. Dr. Abdul Hafiz Anshari proses pemilukada  melalui  e-voting dapat menekan angka alokasi dana, jika dalam pemilukada konvensional menghabiskan dana 2,8 triliun namun dengan e-voting untuk  logistik diprediksikan hanya dibutuhkan anggaran  sekitar 250 milyar rupiah. Yang penting penyelenggaraan pemilu dengan e-voting harus dilandasi dengan regulasi yang representatif berupa undang-undang.
           
Hal yang terpenting yang jangan sampai terlupakan adalah masalah penataan pendidikan rasional pemilukada bagi rakyat. Karena jika saja pendidikan ini sudah lama dijalankan, tentunya penyaluran suara langsung tidak akan menjadi kendala seperti sekarang. Selain itu, pelaksanaan pemilukada tetap merupakan hal yang paling ideal dalam kehidupan demokrasi karena telah sesuai dengan semboyannya, yakni dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Apabila kemudian pemilukada dihapus dan diganti dengan pilkada oleh DPRD atau penunjukkan oleh Presiden, maka sama dengan meludahi esensi demokrasi.

Rujukan:
Diamond, Larry. 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation. Baltimore,            Maryland: The Johns Hopkins University Press.
PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
PP No. 6 Tahun 2005
PP No. 25 Tahun 2007
PPNo. 49 Tahun 2008
Undang-Undang Dasar 1945
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 12 Tahun 2008