Sabtu, 04 Juni 2011

Peran Televisi dalam Proses Pendidikan dan Pencerdasan Bangsa

Media massa pada era ini bisa dikatakan sebagai salah satu pilar pendidikan bangsa setelah keluarga, sekolah, masyarakat, dan rumah ibadah. Hal ini dikarenakan media massa telah masuk ke dalam semua lini kehidupan masyarakat sehingga memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pola pikir mereka. Oleh karena itu, media massa seharusnya memberikan tayangan yang mampu turut mencerdaskan kehidupan bangsa.
Salah satu media massa yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah Televisi. Sampai saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia menggunakan televisi untuk mengakses informasi. Hal ini jelas merupakan sebuah opportunity bagi pertelevisian Indonesia untuk turut memberikan sumbangsih pendidikan yang berharga kepada publik. Sesuai dengan salah satu fungsinya yaitu fungsi edukasi, televisi memiliki peluang besar untuk mendidik masyarakat dengan memberikan informasi yang benar dan bertanggung jawab sehingga mampu menumbuhkan masyarakat yang cerdas karena televisi memiliki keterjangkauan informasi yang massive. Khususnya dengan berkembangnya perteknologian yang semakin maju, masyarakat dituntut agar mampu beradaptasi dan sadar akan keberadaan teknologi agar masyarakat tidak mengalami technological shock dan technological determinism.
Televisi sebagai salah satu media edukasi wajib memberikan pendidikan kepada masyarakat dengan tayangan yang jujur dan bermutu seperti yang telah diatur dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 5c bahwa penyiaran oleh media massa di arahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan pasal 36(1) bahwa isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.
Oleh karena itu, beberapa hal yang bisa dilakukan oleh televisi Indonesia untuk turut serta mendidik dan mencerdaskan bangsa, khususnya dalam bidang perteknologian, adalah:
-          Memberikan pendidikan informal melalui tayangannya mengenai perkembangan teknologi dan dampaknya bagi kehidupan manusia baik sebagai individu maupun bagian dari masyarakat.
-          Memberikan kesadaran mengenai dampak negatif teknologi, bukan hanya menampakkan kebaikkan dari teknologi berdasarkan prinsip berimbang.
-          Menyuguhkan tayangan yang berisikan nilai-nilai kearifan agar masyarakat mampu menggunakan teknologi sesuai dengan kebutuhan dan fungsi yang semestinya tanpa menerjang tata nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
-          Memberikan porsi yang lebih besar bagi program-program yang memuat pendidikan bagi masyarakat, bukan dengan memperbanyak tayangan yang membunuh akal sehat publik meskipun televisi selalu dikejar tuntutan keuntungan.
-          Bekerja sama dengan pihak yang berwenang untuk mengisi program acara yang dimaksudkan untuk mendidik masyarakat dan membangun kesadaran publik akan teknologi.

Media Massa dan Negara Demokrasi

        Media massa memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial masyarakat, termasuk dalam kehidupan bernegara. Dalam perkembangan sebuah negara, fungsi media massa sering mengalami berbagai perubahan sesuai dengan rezim yang berkuasa, misalnya saja di Indonesia. Pada masa pemerintahan Orde Baru, meskipun Indonesia sudah menganut paham demokrasi, media massa hanya merupakan kepanjangan tangan pemerintah. Ketika Orde Baru mulai kehilangan kejayaannya dan digantikan dengan masa reformasi, media massa mulai mendapatkan kembali kebebasannya untuk menjadi agen informasi publik.
Dalam sebuah negara demokrasi, media massa idealnya bisa menjadi the fourth estate seperti yang dikemukakan oleh Edmund Burke bahwa media massa (pers) adalah kekuatan keempat di samping tiga pilar penting dalam negara demokrasi yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif (Burke dalam Franklin, dkk, 2005: 273-274). Hal ini dikarenakan media massa mempunyai kekuatan mempengaruhi publik untuk mengambil sebuah keputusan publik melalui tayangan yang disajikan sebagai sebuah pembelajaran. Sebagai pilar keempat, media massa berperan sebagai watch dog (anjing penjaga) yang mengawasi jalannya proses demokratisasi. Sebagai watch dog, media berfungsi untuk mengawasi mereka yang memiliki kekuasaan baik dalam bidang politik (pemerintah), organisasi nirlaba maupun dalam sektor swasta (Kovach & Rosenstiel, 2001). Di indonesia sendiri, saat ini media massa sedang berusaha memposisikan diri sebagai pihak yang berperan dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Bahkan pada berbagai kesempatan, media massa berusaha menggunakan fungsi investigasinya untuk menyelidiki permasalahan-permasalahan yang tidak terpecahkan sebelumnya atau hilang karena sebuah konspirasi.
Selain berperan sebagai the fourth estate dalam negara demokrasi, media massa juga berperan sebagai public sphere (ruang publik) yang memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyalurkan suara atau pendapatnya tanpa takut adanya restriksi dan intervensi  pihak lain. Public sphere yang ideal akan memberikan akses yang sama kepada semua warganya untuk berkomunikasi yang bebas dari campur tangan pemerintah dan bertujuan untuk membangun konsensus yang bermuara akhir untuk mempengaruhi kebijakan publik. Sebagaimana yang diungkapkan Habermas bahwa seyogyanya public sphere merupakan, “A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where) citizens… deal with matters of general interest without being subjected to coercion…(to) express and publicize their views” (Habermas 1997: 105). Sebagai contoh, walaupun media massa sebagai public sphere yang ideal belum bisa diimplementasikan secara sempurna di Indonesia, namun dengan munculnya berbagai acara yang memberikan ruang berpartisipasi melalui komunikasi interaktif antara media massa dan publik, kita patut berbangga hati karena media massa telah mampu menyediakan ruang partisipasi kepada publik dalam perjalanan demokrasi Indonesia meskipun belum bisa diakses oleh semua masyarakat.
Namun demikian, media massa tidak benar-benar bisa bersifat imparsial dalam menjalankan fungsinya di tengah negara demokrasi akibat adanya terpaan intervensi pemilik modal seperti yang dikemukakan oleh Chomsky (Chomsky dalam Cogswell 2006: 80) bahwa media adalah sistem ’pasar yang terpimpin’, disetir oleh profit dan dipandu oleh pemerintah. Hal ini menandakan bahwa media tidak lagi netral. Dalam tataran idealnya Chomsky mengungkapkan bahwa untuk membuat demokrasi menjadi demokratis, media harus memenuhi dua fungsi. Pertama, media harus melaporkan berita secara apa adanya, lengkap dan tidak memihak. Kedua, media harus berfungsi sebagai pembela masyarakat melawan penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan.
Referensi
David Cogswell.2006.Chomsky Untuk Pemula.Yogyakarta:RESIST book.
Franklin, Bob, dkk.2005.Key Concept in Journalism Studies.New York:Sage Publication.
Habermas, Jürgen.1997.The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a       Category of Bourgeois Society.Cambridge Massachusetts:The MIT Press.
Kovach, Bill & Tom Rosenstiel.2001.The Element of Journalism: What Newspeople Should Know            and Public Should Expect.New York:Crown Publishers.

Rabu, 12 Januari 2011

Negeri Kata Orang

Negeriku,,,
sejuta puisi tak mampu mensajakkan keceriaanmu,,,
sejuta kata tak kuasa menceritakan keelokanmu,,,
sejuta  kanvas tak sanggup melukiskan keindahanmu,,,
sejuta senyum tak berdaya menggambarkan keramahanmu.

Negeriku tercinta,,,
negeri yang kata orang tempat tinggal para dewa,,,
negeri yang kata orang tongkat pun bisa tumbuh disana,,,
negeri yang kata orang didamba oleh wisatawan manca,,,
negeri yang kata orang menjunjung tinggi keragaman bangsa.

Tapi tiba-tiba kutersentak,
terbangun dari mimpi indah tentang negeriku.

Aku pun tersadar,,,
negeriku kini lahan bencana,
negeriku kini sarang penyamun bangsa,
negeriku kini hanya mirip kacung negara adidaya,
negeriku kini hanya,,,
Ah, aku tak dapat lagi mengatakannya.

Aku hanya bisa terdiam,,,
memandang mendung hitam menggantung di angkasa,,,
yang menorehkan sejuta nelangsa,,,
walaupun aku yakin bahwa harapan masih ada.

Senin, 10 Januari 2011

Bungkusan Hitam di Tanganku

Gemericik air menetes membasahi bumi. Cipratan-cipratan air yang jatuh di genangan air menari-nari riang. Dedaunan kuyub berkilau ditimpa sinar lampu temaram. Dentangan-dentangan air jatuh dari kolong langit menyuarakan irama merdu tatkala mendera atap seng tua yang melindungiku dari dinginnya air hujan. Namun angin malam tetap menyiksaku, dalam kesendirian yang menyeramkan. Kegelapan malam menyelimutiku yang masih terpatung bersandar papan hitam yang tak kalah dingin dari bongkahan es.
Bungkusan hitam tergenggam erat dalam tanganku yang mulai lemah. Tubuhku menggigil mendekap nasibku yang terus terombang-ambing oleh badai kehidupan yang kelam. Gigiku gemerutuk tak menentu saling bertumbuk. Namun aku tetap berusaha bertahan, walaupun kepalaku mulai merasa berat menanggung beban hidup yang semakin mendurja.
Aku masih terdiam. Rumahku masih jauh, sedangkan curahan hujan terus menyemai bumi yang hampir mati. Cipratan-cipratan air masih menari-nari seakan mengejekku, menyanyikan lagu ironi yang menyayat hati. Seakan-akan mereka berkata, “Kau tak lebih mujur daripada kami karena tak lama lagi akan masuk ke kubangan yang hina”. Aku hanya tersenyum kecut tak mampu menerawang jauh memandang nasibku. Ya, mungkin inilah yang disebut nasib.
Aku masih tidak bergerak. Pikiranku melayang jauh menembus batas imajinasiku yang masih sederhana. Pikiranku dijejali bayangan sesosok tubuh yang kini hanya bisa terbaring lemah, tergolek tak berdaya karena serangan penyakit yang hingga kini akupun tak tahu namanya karena tak ada biaya untuk sekedar bertanya. Jangankan untuk menanyakan tentang penyakitnya, untuk makan pun kami harus mengais dari sisa kesenangan orang lain berebut dengan kucing dan anjing kumal.
Ya, dia ibuku. Ibu yang selama ini mengasuhku dan menyemangatiku meski hidup tak pernah menentu. Hidup memang lebih sering datang menyiksa keinginan orang miskin seperti aku. Namun dia tetap menjadi lentera yang menyinari jalan hidupku dengan petuah-petuah yang katanya merupakan warisan yang ditinggalkan oleh mendiang nenekku. Dialah yang selama ini selalu memberikan harapan masa depanku walaupun aku kadang berkecil hati.
Aku sering iri melihat orang kaya yang datang dan pergi menaiki mobil mengkilat. Mengenakan pakaian indah yang mungkin untuk membeli kancingnya pun aku tidak akan sanggup. Orang yang lebih sering terlihat tertawa lepas, berbeda dengan aku yang lebih sering menangis karena dua hari perutku tidak dikunjungi nasi walaupun hanya sesuap. Orang yang rasanya aku ingin menghiba meminta dan berharap padanya untuk sekedar menolongku membelikan seteguk air harapan. Namun ibuku selalu berkata padaku, “Hidup ini roda, kadang kita harus menanggung beban yang berat karena kita berada di bawah, namun yakinlah suatu saat kita akan berada di atas. Jangan jadikan dirimu hina dihadapan manusia yang lain karena engkau mengemis kepada mereka disebabkan kemiskinanmu”. Itulah kata-kata yang selalu terngiang di kepalaku sehingga menguatkanku untuk tetap berdiri menantang zaman.
Tapi kini ibuku sedang berjuang mempertahankan sisa umurnya. Ku teringat wajahnya yang meski pucat tapi masih tetap memancarkan cinta dan semangat padaku untuk tidak menyerah kepada nasib. Tangannya yang lemah masih sering membelaiku meski tak sehalus dulu. Senyumnya yang meski agak sedikit dipaksakan tetap mengembang di bibirnya membesarkan jiwaku. Bertahanlah ibu…
Ingatanku pada ibuku terus menyiksaku sehingga tak lagi kupedulikan hujan yang masih mengguyur dengan deras. Ku berjalan setengah berlari menembus gelapnya bayangan malam dan lebatnya hujan. Demi ibu, batinku.
***
Ingatanku kembali melayang. Ku teringat pada ayahku yang telah lama meninggalkan aku menuju alam kekekalan. Meninggalkan ibu, aku, dan dua orang adikku. Bayangannya masih jelas di pelupuk otakku tatkala dia terbaring lemah menunggu kedatangan malikat penjemput. Garis wajahnya tetap keras sebagai seorang kepala keluarga yang setiap hari membanting tulang menafkahi keluarganya. Ayahku berbisik pelan kepadaku, “Kini sudah tiba masaku. Kini kau yang akan menggantikan aku sebagai tulang punggung kelurga”. “Aku takut ayah,,,” balasku padanya tanpa bisa menahan deraian air mata yang membanjiri wajahku. “Kau tidak boleh takut, putraku tidak cengeng” katanya pelan. Ayahpun menutup mata untuk selamanya, menutup mata dari menatapku dan dunia.
Setelah kepergian ayahku, aku pun menggantikan peran ayah untuk mencari makan. Aku sering mengeluh pada nasib, mengapa aku harus miskin. Andai saja aku punya uang, mungkin nasibku tidak akan seperti ini, mungkin juga ayahku masih bisa selamat. Tapi biaya berobat buat ayahku terlalu mahal sehingga ayah hanya menahan sakit yang semakin menjadi-jadi seiring bertambahnya waktu. Aku juga sering bertanya pada diriku sendiri, mengapa berobat harus mahal? Bukankah kesehatan merupakan hak bagi siapa saja? Mengapa orang miskin selalu menjadi orang yang tersisih? Bukankah kami juga manusia, yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama? Lihatlah, kami bukan sampah…
***
Karena ibulah aku beranikan diri untuk meminjam sedikit uang dari tetanggaku yang keadaannya lebih baik daripada kami. Aku semakin tidak tega melihat beban sakit yang diderita ibu. Aku tidak rela tonggak hidup yang selama ini mengokohkan kakiku dalam mengarungi kehidupan kini merintih menahan sakit. Entah karena melihat wajahku yang memelas atau memang merasa iba, tetanggaku memberi aku pinjaman uang untuk sekedar membeli obat penghilang rasa sakit.
Kutempuh perjalanan lima kilometer demi ibu. Tak kupedulikan perutku yang sejak pagi belum terisi sesuap nasipun. Aku pergi ke apotik yang ada di kota untuk membeli obat penghilang rasa sakit agar ibuku tetap bisa bertahan. Aku tidak bisa membawanya ke rumah sakit karena keadaan kami yang serba kekurangan. Aku suruh kedua adikku untuk menjaganya ketika aku pergi.
Matahari telah menguning ketika aku sampai di kota. Hiruk pikuk kehidupan sore tak mengganggu jalanku. Pikiranku hanya teringat pada ibu, ibu, dan ibu. Ku cari apotik untuk segera mendapatkan obat. Agak lama aku mencarinya. Akhirnya aku melihat sebuah rumah yang banyak menyediakan obat-obatan, pasti itu apotiknya.
Segera setelah aku dapatkan obat yang aku beli dengan uang yang ada, kulangkahkan kakiku dengan gontai menyusuri jalan pulang. Angin semilir membelai lembut tubuhku yang semakin panas menahan lapar yang menggigit. Awan hitam terlihat menggatung di kolong langit pertanda hujan akan segara membasahi bumi yang kering. Hujan yang mengingatkan aku pada kasih sayang ibuku yang tercurah tanpa pamrih.
Benar saja, belum jauh dari kota hujan telah turun dengan deras sehingga memaksaku berteduh di sebuah rumah kecil yang kelihatannya telah lama tidak ditempati, gelap dan kosong. Aku sandarkan tubuhku yang menggigil kedinginan di diding yang ternyata lebih dingin. Pikiranku terus melayang.
***
Ku percepat langkahku menyusuri jalan setapak membelah gelapnya malam. Nyanyian binatang malam menemaniku sepanjang perjalanan. Pikiranku terus berkecamuk memikirkan ibuku yang masih terbaring lemah. Ku genggam bungkusan hitam semakin erat, tunggulah aku ibu.
Setelah beberapa lama kemudian aku menyusuri gelapnya malam kulihat segerombolan rumah-rumah kumuh tak beraturan. Dindingnya tak lebih dari sekedar penghalang angin malam, atapnya hanya tumpukan seng yang mulai berkarat. Entah berapa kali rumah-rumah itu digusur oleh pria-pria berpakaian hijau yang mengatasnamakan ketertiban dan keindahan tetapi tidak memperhatikan kemana penghuninya akan  pergi setelah itu.
Di salah satu rumah itulah aku tinggal bersama ibu dan dua orang adikku. Sebenarnya tak pantas disebut rumah, lebih pantas disebut gubuk, mungkin gubuk derita seperti kata salah satu penyanyi ibukota. Di tempat itulah aku merangkai mimpi untuk menggapai bintang, merajut asa yang sering terkikis oleh terpaan badai kesengsaraan. Tetapi, di tempat itu pulalah aku merasa berada di surga.
Tak lama kemudian aku sampai di depan rumahku. Cahaya temaram lampu teplok menari-nari diterpa angin. Air hujan mengalir menggenangi tanah di mana tempatku berdiri. Ku dengar suara sayup-sayup suara dari dalam. Suara yang menenggelamkan setiap jiwa yang mendengarnya ke dalam jurang nestapa.
Ku buka pintu rumahku pelan-pelan agar ibuku tidak terganggu oleh dernyit daun pintu yang lebih mirip pintu kamar mandi umum. Tapi yang kulihat hanya dua sosok adikku duduk disamping dipan kayu yang telah mulai rapuh dimana terbujur sesosok wanita paruh baya. Mereka tampak tertunduk menyelami nasib yang tiada berbelas hati. Aku hanya terdiam terpaku di tengah pintu, memandang kegelapan yang semakin menyesakkan kalbu. Genggaman hitam di tanganku terjatuh tanpa bisa aku menahannya. Dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Pemilukada dan Artikulasi Demokrasi


Permasalahan pemilukada sudah lama menjadi agenda perdebatan publik Indonesia. Hal ini  berkaitan dengan masalah ratusan juta suara rakyat yang memiliki hak absolut untuk didengar.  Pemilukada merupakan alternatif pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang dilaksanakan secara langsung oleh rakyat sebagai pemegang amanah tertinggi dalam kehidupan negara demokrasi. Namun, pemilukada yang digadang-gadang dapat mewadahi aspirasi rakyat banyak menuai pro dan  kontra terkait dengan pelaksanaannya.
Pemilukada mulai diterapkan di Indonesia sejak disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian dijabarkan dalam PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Namun dalam pelaksanaannya, pemilukada mengalami beberapa kendala terkait dengan pelanggaran oleh peserta pemilukada maupun para simpatisannya . Sehingga pemilukada banyak dilihat sebagai pembawa permasalahan baru bagi Indonesia.
Di sisi lain, pemilukada merupakan bentuk artikulasi tersendiri bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Pemilukada merupakan bentuk demokrasi langsung (direct democracy) sebagaimana yang telah diamanatkan dalam pasal 18(4) UUD 1945. Pemilukada juga merupakan pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai bentuk konkrit dari konsep demokrasi di tingkat daerah yang berdasarkan Pancasila. Selain itu, pemilukada merupakan sarana bagi rakyat di tingkat daerah untuk belajar berpolitik dengan menggunakan hak pilihnya secara langsung.
Sedangkan peraturan teknis pelaksanaan pilkada sebagai turunan UU No. 32 Tahun 2004, diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 yang kemudian mengalami perubahan menjadi Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2007 tentang perubahan kedua dan Peraturan Pemerintah No. 49 Tahun 2008 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005. Sebagai bentuk penyempurnaan dasar hukum pemilukada, kemudian juga dilahirkan UU No. 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemilukada sebagai pencerminan demokrasi merupakan perjuangan panjang yang dilakukan oleh rakyat, yang juga memberikan kebebasan bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi politiknya yang terbungkam selama Orde Baru menguasai Indonesia. Sehingga apabila pemilukada dihapuskan maka sama saja dengan mengkhianati perjuangan rakyat selama 32 tahun yang terpenjara dalam kungkungan rezim otoriter.
Pemilukada saat ini merupakan sarana paling tepat yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan rakyat dalam proses demokrasi untuk mencapai konsolidasi demokrasi. Konsolidasi demokrasi merupakan tujuan  akhir dari proses demokrasi sebagaimana yang dikatakan oleh Larry Diamond dalam bukunya "Developing Democracy Toward Consolidation".
Konsolidasi demokrasi harus memenuhi beberapa syarat yaitu tidak banyak kelompok politik yang menolak demokrasi atau memisahkan diri dari negara, mayoritas rakyat percaya bahwa prosedur dan institusi demokrasi adalah cara yang paling efektif mengatur kehidupan bersama, dan semua aktor politik terbiasa untuk menyelesaikan konflik antar mereka dengan mengacu pada resolusi hukum, prosedur dan institusi pemaksa dalam proses demokrasi (Diamond, 1999).

Pemilukada merupakan alternatif  terbaik dalam memilih kepala daerah. Hal ini dikarenakan dalam proses pemilihannya akan menciptakan kedekatan atara calon kepala daerah dan rakyat. Melalui pemilukada, rakyat juga akan mengenal secara lebih mendalam tentang karakter dan visi-misi yang diusung oleh calon kepala daerah sehingga rakyat dapat menentukan pilihan politiknya secara objektif.

Berkaca dari masa lalu, pemilihan kepala daerah yang diwakili oleh DPRD yang merupakan representasi rakyat tidak lebih dari transaksi politik tingkat elit. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD juga memunculkan bias dominasi partai. Melalui sistem ini, kepala daerah yang akan terpilih bisa dilihat dari partai mana yang mendominasi parlemen. Padahal, kondisi suara rakyat yang berasal dari hati nurani merupakan hal yang fluktuatif. Sehingga pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan kurang merepresentasikan aspirasi rakyat.

Mengenai beberapa permasalahan yang selama ini muncul dari pelaksanaan pemilukada, seharusnya pemerintah mencarikan solusi yang tepat bukan dengan menghapuskan pemilukada yang berarti sama saja dengan membungkam hak demokrasi rakyat.
Jika selama ini alasan pemerintah mengenai dampak pemilukada secara langsung adalah pemborosan dana APBD setiap daerah yang mana rata-rata menghabiskan dana alokasi sebesar 10 milyar-50 milyar, maka jalan akhir bukanlah melakukan pemilukada melalui DPRD, karena pada kenyataan yang terjadi adalah struktur hirarki pemerintah negara dengan masyarakat di Indonesia tidak memiliki kesempatan negosiasi yang efektif. Kesempatan tawar masyarakat dalam pelaksanaan partisipasi kenegaraan hanya sampai tingkat prosedural dan akan menjadi lebih buruk tatkala pemilukada nantinya hanya sampai pada suara fraksi di DPRD. Mahalnya biaya pemilukada bisa direduksi dengan pemilihan kepala daerah secara serempak di seluruh daerah karena dengan sistem ini maka pemilukada akan terlaksana seperti halnya pemilihan legislatif.
Mengenai kecurangan dan kerusuhan yang terjadi, pemerintah seharusnya mengambil langkah insiatif untuk memberikan pendidikan dan pemahaman politik secara komprehensif agar rakyat memiliki kedewasaan politik. Karena akan sama saja ketika pemilihan kepala daerah oleh DPRD namun masih terjadi transaksi jual beli suara dengan calon kepala daerah yang akan berujung pada pengkhianatan terhadap rakyat. Selain itu KPUD, pengawas pemilukada, dan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilukada harus difungsikan secara objektif dan independen dalam mengawal jalannya pesta demokrasi rakyat. Sehingga dari proses yang bersih ini akan muncul kepala daerah yang berkualitas, bukan dengan solusi menghapus pemilukada.

Banyak alternatif pemilukada yang mampu mereduksi kecurangan-kecurangan, salah satunya adalah e-voting. Menurut ketua KPU Prof. Dr. Abdul Hafiz Anshari proses pemilukada  melalui  e-voting dapat menekan angka alokasi dana, jika dalam pemilukada konvensional menghabiskan dana 2,8 triliun namun dengan e-voting untuk  logistik diprediksikan hanya dibutuhkan anggaran  sekitar 250 milyar rupiah. Yang penting penyelenggaraan pemilu dengan e-voting harus dilandasi dengan regulasi yang representatif berupa undang-undang.
           
Hal yang terpenting yang jangan sampai terlupakan adalah masalah penataan pendidikan rasional pemilukada bagi rakyat. Karena jika saja pendidikan ini sudah lama dijalankan, tentunya penyaluran suara langsung tidak akan menjadi kendala seperti sekarang. Selain itu, pelaksanaan pemilukada tetap merupakan hal yang paling ideal dalam kehidupan demokrasi karena telah sesuai dengan semboyannya, yakni dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Apabila kemudian pemilukada dihapus dan diganti dengan pilkada oleh DPRD atau penunjukkan oleh Presiden, maka sama dengan meludahi esensi demokrasi.

Rujukan:
Diamond, Larry. 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation. Baltimore,            Maryland: The Johns Hopkins University Press.
PP No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
PP No. 6 Tahun 2005
PP No. 25 Tahun 2007
PPNo. 49 Tahun 2008
Undang-Undang Dasar 1945
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 12 Tahun 2008

Senin, 27 Desember 2010

Media Massa, Public Sphere, dan Kebebasan Pers

Kebebasan berinformasi dan mengutarakan pendapat merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Karena merupakan hak dasar bagi manusia sebagai bagian dari negara, maka hak ini harus terpenuhi dan dilindungi dari berbagai intervensi pihak berkepentingan. Untuk menyampaikan aspirasinya inilah warga negara membutuhkan sebuah ruang publik yang mampu menjadi wadah bagi pendapat-pendapat mereka mengenai berbagi permasalahan sosial.
Pembahasan mengenai ruang publik (public sphere) berawal dari pendapat Jurgen Habermas pada tahun 1962 dalam tulisannya yang kemudian diterjemahkan pada tahun 1997 berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Public sphere adalah ruang terjadinya berbagai diskusi dan debat publik mengenai suatu permasalahan publik, di mana setiap individu sebagai bagian dari publik mempunyai porsi yang sama dalam berpendapat dan dijamin kebebasannya dari intervensi dan restriksi pihak lain sehingga tidak memunculkan hegemoni opini namun menumbuhkan opini publik yang diharapkan akan membantu munculnya kebijakan publik yang adil.
Habermas (1997: 105) menyebutkan kriteria public sphere sebagai berikut:
“A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where) citizens… deal with matters of general interest without being subjected to coercion…(to) express and publicize their views.”
Sedangkan Alan McKee (2005) menyatakan beberapa pengertian tentang public sphere sebagai berikut : (1)Ruang publik adalah suatu wilayah hidup sosial di mana suatu pendapat umum dapat dibentuk diantara warga negara, berhadapan dengan berbagai hal mengenai kepentingan umum tanpa tunduk kepada paksaan dalam menyatakan dan mempublikasikan pandangan mereka. (2)Ruang publik adalah istilah yang berkenaan dengan metafora yang digunakan untuk menguraikan ruang virtual dimana orang-orang dapat saling berhubungan. (3)Ruang publik adalah ruang dimana percakapan, gagasan, dan pikiran masyarakat bertemu. (4)Ruang publik adalah ruang virtual di mana warganegara dari suatu negeri menukar gagasan dan mendiskusikan isu, dalam rangka menjangkau persetujuan tentang berbagai hal yang menyangkut kepentingan umum. (5)Ruang publik adalah tempat di mana informasi, gagasan dan perberdebatan dapat berlangsung dalam masyarakat dan pendapat politis dapat dibentuk.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa public sphere merupakan ruang abstrak bagi publik untuk mengutarakan pendapat atau menentang pendapat lain berdasarkan asas kebebasan bertanggung jawab. Pro-kontra merupakan unsur utama public sphere untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan sosial yang sedang menjadi agenda pemabahasan publik. Tarik ulur kepentingan juga merupakan warna bagi public sphere yang kemudian menciptakan bargaining position antar peserta diskusi.

Media Massa sebagai Sarana Public Sphere
Pada awal perkembangannya, public sphere diteliti oleh Habermas dalam kedai-kedai kopi dimana di sana terjadi pembicaraan masalah-masalah publik oleh para pengunjung. Namun dengan semakin berkembangnya teknologi dan kecepatan informasi, media massa digadang-gadang sebagai sebuah institusi yang mampu merealisasikan public sphere yang memprasarnai aspirasi publik. Hal ini dikarenakan pada tataran das sollen, media massa merupakan institusi informasi yang netral dan independen serta tidak terdikte oleh pihak manapun.
Habermas (1997) mengatakan bahwa public sphere terdiri dari lembaga informasi dan diskusi/debat politik. Lembaga informasi ini mengacu pada media massa yang mempunyai fungsi informing kepada khalayak dan sarana transformasi kepentingan publik. Pandangan Habermas yang berhubungan dengan pentingnya media dalam mewujudkan public sphere didukung oleh O'Neil yang menyatakan bahwa media massa sangatlah vital bagi pembentukan dan vitalitas sebuah masyarakat sipil.
Kebebasan bermedia dan berinformasi juga merupakan ciri dari terwujudnya negara demokrasi. Dengan semboyan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, masyarakat mempunyai ruang partisipasi yang harus dijamin oleh pemerintah sebagai aparatur negara dan representator rakyat, termasuk dalam bermedia massa dan memperoleh informasi.
Tanpa adanya kebebasan bermedia massa oleh masyarakat, maka yang akan terjadi adalah kemandulan demokrasi yang berujung pada lemahnya partisipasi rakyat dalam berpolitik dan bernegara. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Randall bahwa untuk mewujudkan berfungsinya demokrasi, masyarakat sipil membutuhkan akses terhadap informasi sebagai alat untuk mengetahui pilihan - pilihan politik. Sementara para politisi membutuhkan media untuk menyampaikan pandangan - pandangan mereka dan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Media tidak berdiri sendiri dalam sebuah sistem sosial tetapi menyediakan saluran komunikasi para pelaku di dalamnya.
Peryataan Randall di atas menyiratkan bahwa media massa sebagai public sphere mempunyai dua peran penting yaitu sebagai sumber informasi dan menyediakan ruang bagi publik untuk melakukan diskusi dan debat publik. Hanya saja yang menjadi catatan besar adalah apakah media massa mampu menyediakan public sphere yang benar-benar independen dari berbagai kepentingan imparsional?
Tidak mudah membayangkan bagaimana mewujudkan media massa dalam menyelenggarakan public sphere yang ideal. Karena pada realitanya, media massa tidak bisa terlepas dari berbagai kepentingan pemilik modal dan pemerintah. Public sphere yang ideal juga harus mampu menyediakan akses bagi seluruh khalayak agar tidak terjadi dominasi opini oleh segolongan publik yang mempunyai akses terhadap media massa.
Media massa sebagai penyelenggara public sphere harus menjadi katalisator dalam menyelesaikan permasalahan publik. Karena dengan jurnalisme yang berimbang dan independen serta public sphere yang terjamin kebebasannya maka akan muncul opini publik yang benar-benar mewakili kepentingan seluruh publik. Public opinion tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai dasar lahirnya kebijakan public (public policy) yang berpihak kepada publik yang kemudian akan berdampak pada meningkatnya mutu public service.


Realita public sphere di Indonesia
Public sphere  di media Indonesia mulai muncul pada akhir masa Orde Baru ditandai dengan lahirnya masa Reformasi yang memberikan kebebasan kepada publik sesuai UUD 1945. Pada masa Orde Baru, sistem komunikasi Indonesia bersifat tertutup sehingga arus informasi bersifat top down dan tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan feed back.  Setelah Orde Baru digantikan oleh Reformasi, sistem komunikasi beralih ke sistem yang lebih terbuka sehingga publik mempunyai kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya tanpa takut pada ancaman pemerintah. Kemunculan lingkungan media yang lebih bebas tersebut juga disebutkan oleh Idris & Gunaratne (2000) yang mengatakan bahwa pada awal 1998 sebuah kebijakan media yang lebih bebas tengah terbentuk di Indonesia.
Pasca Orde Baru juga gencar dilakukan diskusi-diskusi publik mengenai keadaan bangsa dan masa depan negara. Dari sinilah kemudian muncul ruang-ruang publik yang membahas tentang permasalahan publik guna mencari solusi yang tepat. Media massa sebagai pilar keempat dalam sistem negara juga mulai membuka kesempatan kepada public untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi publik melalui media. Sejak itu, nuansa kebebasan berinformasi semakin dirasakan oleh publik untuk berkontribusi dalam pembangunan negara melalui diskusi ruang publik.
Secara teoritis, media massa memang telah mampu menciptakan public sphere bagi khalayak untuk memberikan aspirasi dan turut pula dalam diskusi-diskusi publik melalui media massa. Hal ini dapat dilihat dengan dibukanya rubrik opini dan surat pembaca di media cetak serta munculnya berbagai talk show yang membahas permasalahan publik di media televisi dan radio. Namun apakah sejatinya media Indonesia telah menyelenggarakan public sphere yang berimbang tanpa diboncengi kepentingan pihak tertentu?
Sulit rasanya bagi media massa untuk menciptakan sebuah ruang publik yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik dan bebas dari bias kepentingan. Hal ini dikarenakan media massa sangat bergantung pada para pemilik modal dan kecenderungan pemilik modal kepada institusi atau golongan tertentu. Ini dapat dicontohkan dengan adanya perang opini melalui public sphere masing-masing antara TV One yang dibiayai oleh Aburizal Bakrie dan Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh ketika kedua pemodal tersebut sama-sama mencalonkan diri menjadi ketua umum Partai Golkar. Masing-masing media menyuarakan kepetingan pemiliknya bahkan tokoh yang diundang dalam diskusi-diskusinya adalah tokoh yang berpihak kepada masing-masing pemodal.
Selain itu, public sphere dalam media massa juga hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Publik tidak mempunyai akses yang sama untuk dapat turut serta urun rembug dalam diskusi publik. Dengan alasan keterbatasan space atau durasi, public sphere yang diselenggarakan oleh media massa sering kurang maksimal karena space-nya sudah dikavling oleh pengiklan atau program media itu sendiri.
Habermas (1997: 141-250) sendiri pernah menyebutkan tentang degradasi public sphere oleh media massa yang justru dilakukan oleh praktek media massa dan tumbuhnya budaya masyarakat konsumtif daripada masyarakat kritis. Hal ini dikarenakan media massa kini lebih banyak dipenuhi promosi dan hiburan daripada forum yang membahas permasalahan publik.

Kebebasan Pers sebagai Faktor Pendukung Public Sphere
Public sphere yang termediasi dalam sebuah media massa sangat bergantung pula pada sistem pers yang dianut oleh negara sebagai sebuah penjamin kebebasan pers. Di Indonesia sendiri sistem pers yang dianut adalah sistem pers tanggung jawab sosial sebagai pendukung terselenggaranya public sphere yang sehat.
Sistem pers tanggung jawab sosial mulai terapkan di Indonesia sejak bergulirnya masa reformasi. Mulai berlakunya sistem ini dikarenakan adanya kebebasan pers yang tidak lagi mengalami restriksi oleh pemerintah sehingga pers benar-benar menjadi lembaga sosial yang independen. Sistem pers tanggung jawab sosial memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi awak pers untuk memproduksi berita dengan catatan tetap harus memperhatikan kepentingan publik agar tidak ada pihak yang  merasa dirugikan (Severin dan Tankard, 2005).
Dalam sistem ini, pers tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Profesi dalam dunia pers dapat dilakukan oleh siapa saja dengan syarat memiliki kredibilitas dan bertanggung jawab. Pers dianggap bagian dari masyarakat yang tidak bisa lagi dipisahkan fungsinya sebagai media transformasi informasi publik. Namun dalam sistem ini pers memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena dibawah pengawasan sebagai konsumen, sehingga pers tidak bisa sekehendaknya dalam pembuatan dan penyiaran berita (Siebert, Peterson, dan Schramm (1956) dalam Severin dan Tankard (2005)).
Kebebasan merupakan sesuatu yang krusial bagi pers untuk dapat memproduksi siarannya secara independen dan tanpa harus takut tekanan pihak manapun. Namun, kebebasan pun tidak serta merta diberikan begitu saja. Oleh karena itu, negara kemudian menjamin dan mengatur kebebasan pers melalui UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi, “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” (UUD 1945). Selain itu, kebebasan pers juga dijamin dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1) (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers) .
Meskipun dijamin oleh UU sebagai hak asasi manusia, namun kebebasan pers hanyalah salah satu dari sekian banyak hak-hak asasi manusia yang lain. Hak asasi seseorang pun tidak bisa dipenuhi secara mutlak karena terbentur hak asasi orang lain. Landasan inilah yang kemudian dijadikan dasar bahwa kebebasan pers harus bertanggung jawab kepada publik. Meskipun memiliki kebebasan berekspresi, namun pers harus menghormati hak-hak orang lain. Kebebasan pers juga tidak boleh melampaui hak pihak lain seperti yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, bahwa kebebasan pers dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Keterkaitan antara media massa dan kebebasan pers merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan demi mewujudkan public sphere yang dapat memenuhi hak asasi manusia untuk mendaptkan dan menyampaikan informasi dan pedapatnya secara bebas dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu media massa harus memberikan kebebasan bagi publik untuk memperoleh dan menyampaikan opini mereka.



Daftar Pustaka
Habermas, Jürgen (German(1962) English Translation 1997).The Structural            Transformation           of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of             Bourgeois Society.Cambridge             Massachusetts: The MIT Press.
Hiley, David Randall dan Charles Guignon.2003.Richard    Rorty.Cambridge:Cambridge University Press.
Idris, Naswil & Shelton A. Gunaratne.2000.Handbook of the Media in        Asia.California:Sage   Publications.
McKee, Alan.2005.The Public Sphere: An Introduction.Cambride:Cambride           University.
O'Neill, Shane, "Private Irony and the Public Hope of Richard Rorty's        Liberalism", dalam      Public & Private. Legal, Political, and    Philosophical Perspectives, Maurizio Passerin           d'Entrèves dan Ursula             Vogel (ed), London, Routledge, 2000
Severin, Werner J. dan James W. Tankard, JR. 2005. Teori Komunikasi: Sejarah,    Metode, dan Terapan di dalam Media Massa, Edisi 5. Jakarta: Prenada         Media.
Hidup bukanlah untuk menyesali masa lalu, tapi untuk mensyukuri hari ini dan memandang lurus ke masa depan