Senin, 27 Desember 2010

Media Massa, Public Sphere, dan Kebebasan Pers

Kebebasan berinformasi dan mengutarakan pendapat merupakan hak setiap warga negara yang dijamin oleh UUD 1945. Karena merupakan hak dasar bagi manusia sebagai bagian dari negara, maka hak ini harus terpenuhi dan dilindungi dari berbagai intervensi pihak berkepentingan. Untuk menyampaikan aspirasinya inilah warga negara membutuhkan sebuah ruang publik yang mampu menjadi wadah bagi pendapat-pendapat mereka mengenai berbagi permasalahan sosial.
Pembahasan mengenai ruang publik (public sphere) berawal dari pendapat Jurgen Habermas pada tahun 1962 dalam tulisannya yang kemudian diterjemahkan pada tahun 1997 berjudul The Structural Transformation of The Public Sphere. Public sphere adalah ruang terjadinya berbagai diskusi dan debat publik mengenai suatu permasalahan publik, di mana setiap individu sebagai bagian dari publik mempunyai porsi yang sama dalam berpendapat dan dijamin kebebasannya dari intervensi dan restriksi pihak lain sehingga tidak memunculkan hegemoni opini namun menumbuhkan opini publik yang diharapkan akan membantu munculnya kebijakan publik yang adil.
Habermas (1997: 105) menyebutkan kriteria public sphere sebagai berikut:
“A domain of our social life where such a thing as public opinion can be formed (where) citizens… deal with matters of general interest without being subjected to coercion…(to) express and publicize their views.”
Sedangkan Alan McKee (2005) menyatakan beberapa pengertian tentang public sphere sebagai berikut : (1)Ruang publik adalah suatu wilayah hidup sosial di mana suatu pendapat umum dapat dibentuk diantara warga negara, berhadapan dengan berbagai hal mengenai kepentingan umum tanpa tunduk kepada paksaan dalam menyatakan dan mempublikasikan pandangan mereka. (2)Ruang publik adalah istilah yang berkenaan dengan metafora yang digunakan untuk menguraikan ruang virtual dimana orang-orang dapat saling berhubungan. (3)Ruang publik adalah ruang dimana percakapan, gagasan, dan pikiran masyarakat bertemu. (4)Ruang publik adalah ruang virtual di mana warganegara dari suatu negeri menukar gagasan dan mendiskusikan isu, dalam rangka menjangkau persetujuan tentang berbagai hal yang menyangkut kepentingan umum. (5)Ruang publik adalah tempat di mana informasi, gagasan dan perberdebatan dapat berlangsung dalam masyarakat dan pendapat politis dapat dibentuk.
Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa public sphere merupakan ruang abstrak bagi publik untuk mengutarakan pendapat atau menentang pendapat lain berdasarkan asas kebebasan bertanggung jawab. Pro-kontra merupakan unsur utama public sphere untuk mencari solusi dari berbagai permasalahan sosial yang sedang menjadi agenda pemabahasan publik. Tarik ulur kepentingan juga merupakan warna bagi public sphere yang kemudian menciptakan bargaining position antar peserta diskusi.

Media Massa sebagai Sarana Public Sphere
Pada awal perkembangannya, public sphere diteliti oleh Habermas dalam kedai-kedai kopi dimana di sana terjadi pembicaraan masalah-masalah publik oleh para pengunjung. Namun dengan semakin berkembangnya teknologi dan kecepatan informasi, media massa digadang-gadang sebagai sebuah institusi yang mampu merealisasikan public sphere yang memprasarnai aspirasi publik. Hal ini dikarenakan pada tataran das sollen, media massa merupakan institusi informasi yang netral dan independen serta tidak terdikte oleh pihak manapun.
Habermas (1997) mengatakan bahwa public sphere terdiri dari lembaga informasi dan diskusi/debat politik. Lembaga informasi ini mengacu pada media massa yang mempunyai fungsi informing kepada khalayak dan sarana transformasi kepentingan publik. Pandangan Habermas yang berhubungan dengan pentingnya media dalam mewujudkan public sphere didukung oleh O'Neil yang menyatakan bahwa media massa sangatlah vital bagi pembentukan dan vitalitas sebuah masyarakat sipil.
Kebebasan bermedia dan berinformasi juga merupakan ciri dari terwujudnya negara demokrasi. Dengan semboyan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, masyarakat mempunyai ruang partisipasi yang harus dijamin oleh pemerintah sebagai aparatur negara dan representator rakyat, termasuk dalam bermedia massa dan memperoleh informasi.
Tanpa adanya kebebasan bermedia massa oleh masyarakat, maka yang akan terjadi adalah kemandulan demokrasi yang berujung pada lemahnya partisipasi rakyat dalam berpolitik dan bernegara. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Randall bahwa untuk mewujudkan berfungsinya demokrasi, masyarakat sipil membutuhkan akses terhadap informasi sebagai alat untuk mengetahui pilihan - pilihan politik. Sementara para politisi membutuhkan media untuk menyampaikan pandangan - pandangan mereka dan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Media tidak berdiri sendiri dalam sebuah sistem sosial tetapi menyediakan saluran komunikasi para pelaku di dalamnya.
Peryataan Randall di atas menyiratkan bahwa media massa sebagai public sphere mempunyai dua peran penting yaitu sebagai sumber informasi dan menyediakan ruang bagi publik untuk melakukan diskusi dan debat publik. Hanya saja yang menjadi catatan besar adalah apakah media massa mampu menyediakan public sphere yang benar-benar independen dari berbagai kepentingan imparsional?
Tidak mudah membayangkan bagaimana mewujudkan media massa dalam menyelenggarakan public sphere yang ideal. Karena pada realitanya, media massa tidak bisa terlepas dari berbagai kepentingan pemilik modal dan pemerintah. Public sphere yang ideal juga harus mampu menyediakan akses bagi seluruh khalayak agar tidak terjadi dominasi opini oleh segolongan publik yang mempunyai akses terhadap media massa.
Media massa sebagai penyelenggara public sphere harus menjadi katalisator dalam menyelesaikan permasalahan publik. Karena dengan jurnalisme yang berimbang dan independen serta public sphere yang terjamin kebebasannya maka akan muncul opini publik yang benar-benar mewakili kepentingan seluruh publik. Public opinion tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai dasar lahirnya kebijakan public (public policy) yang berpihak kepada publik yang kemudian akan berdampak pada meningkatnya mutu public service.


Realita public sphere di Indonesia
Public sphere  di media Indonesia mulai muncul pada akhir masa Orde Baru ditandai dengan lahirnya masa Reformasi yang memberikan kebebasan kepada publik sesuai UUD 1945. Pada masa Orde Baru, sistem komunikasi Indonesia bersifat tertutup sehingga arus informasi bersifat top down dan tidak ada kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan feed back.  Setelah Orde Baru digantikan oleh Reformasi, sistem komunikasi beralih ke sistem yang lebih terbuka sehingga publik mempunyai kebebasan untuk menyuarakan pendapatnya tanpa takut pada ancaman pemerintah. Kemunculan lingkungan media yang lebih bebas tersebut juga disebutkan oleh Idris & Gunaratne (2000) yang mengatakan bahwa pada awal 1998 sebuah kebijakan media yang lebih bebas tengah terbentuk di Indonesia.
Pasca Orde Baru juga gencar dilakukan diskusi-diskusi publik mengenai keadaan bangsa dan masa depan negara. Dari sinilah kemudian muncul ruang-ruang publik yang membahas tentang permasalahan publik guna mencari solusi yang tepat. Media massa sebagai pilar keempat dalam sistem negara juga mulai membuka kesempatan kepada public untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi publik melalui media. Sejak itu, nuansa kebebasan berinformasi semakin dirasakan oleh publik untuk berkontribusi dalam pembangunan negara melalui diskusi ruang publik.
Secara teoritis, media massa memang telah mampu menciptakan public sphere bagi khalayak untuk memberikan aspirasi dan turut pula dalam diskusi-diskusi publik melalui media massa. Hal ini dapat dilihat dengan dibukanya rubrik opini dan surat pembaca di media cetak serta munculnya berbagai talk show yang membahas permasalahan publik di media televisi dan radio. Namun apakah sejatinya media Indonesia telah menyelenggarakan public sphere yang berimbang tanpa diboncengi kepentingan pihak tertentu?
Sulit rasanya bagi media massa untuk menciptakan sebuah ruang publik yang benar-benar berpihak pada kepentingan publik dan bebas dari bias kepentingan. Hal ini dikarenakan media massa sangat bergantung pada para pemilik modal dan kecenderungan pemilik modal kepada institusi atau golongan tertentu. Ini dapat dicontohkan dengan adanya perang opini melalui public sphere masing-masing antara TV One yang dibiayai oleh Aburizal Bakrie dan Metro TV yang dimiliki oleh Surya Paloh ketika kedua pemodal tersebut sama-sama mencalonkan diri menjadi ketua umum Partai Golkar. Masing-masing media menyuarakan kepetingan pemiliknya bahkan tokoh yang diundang dalam diskusi-diskusinya adalah tokoh yang berpihak kepada masing-masing pemodal.
Selain itu, public sphere dalam media massa juga hanya bisa diakses oleh orang-orang tertentu. Publik tidak mempunyai akses yang sama untuk dapat turut serta urun rembug dalam diskusi publik. Dengan alasan keterbatasan space atau durasi, public sphere yang diselenggarakan oleh media massa sering kurang maksimal karena space-nya sudah dikavling oleh pengiklan atau program media itu sendiri.
Habermas (1997: 141-250) sendiri pernah menyebutkan tentang degradasi public sphere oleh media massa yang justru dilakukan oleh praktek media massa dan tumbuhnya budaya masyarakat konsumtif daripada masyarakat kritis. Hal ini dikarenakan media massa kini lebih banyak dipenuhi promosi dan hiburan daripada forum yang membahas permasalahan publik.

Kebebasan Pers sebagai Faktor Pendukung Public Sphere
Public sphere yang termediasi dalam sebuah media massa sangat bergantung pula pada sistem pers yang dianut oleh negara sebagai sebuah penjamin kebebasan pers. Di Indonesia sendiri sistem pers yang dianut adalah sistem pers tanggung jawab sosial sebagai pendukung terselenggaranya public sphere yang sehat.
Sistem pers tanggung jawab sosial mulai terapkan di Indonesia sejak bergulirnya masa reformasi. Mulai berlakunya sistem ini dikarenakan adanya kebebasan pers yang tidak lagi mengalami restriksi oleh pemerintah sehingga pers benar-benar menjadi lembaga sosial yang independen. Sistem pers tanggung jawab sosial memberikan keleluasaan dan kebebasan bagi awak pers untuk memproduksi berita dengan catatan tetap harus memperhatikan kepentingan publik agar tidak ada pihak yang  merasa dirugikan (Severin dan Tankard, 2005).
Dalam sistem ini, pers tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah melalui Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Profesi dalam dunia pers dapat dilakukan oleh siapa saja dengan syarat memiliki kredibilitas dan bertanggung jawab. Pers dianggap bagian dari masyarakat yang tidak bisa lagi dipisahkan fungsinya sebagai media transformasi informasi publik. Namun dalam sistem ini pers memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena dibawah pengawasan sebagai konsumen, sehingga pers tidak bisa sekehendaknya dalam pembuatan dan penyiaran berita (Siebert, Peterson, dan Schramm (1956) dalam Severin dan Tankard (2005)).
Kebebasan merupakan sesuatu yang krusial bagi pers untuk dapat memproduksi siarannya secara independen dan tanpa harus takut tekanan pihak manapun. Namun, kebebasan pun tidak serta merta diberikan begitu saja. Oleh karena itu, negara kemudian menjamin dan mengatur kebebasan pers melalui UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi, “Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” (UUD 1945). Selain itu, kebebasan pers juga dijamin dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1) (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers) .
Meskipun dijamin oleh UU sebagai hak asasi manusia, namun kebebasan pers hanyalah salah satu dari sekian banyak hak-hak asasi manusia yang lain. Hak asasi seseorang pun tidak bisa dipenuhi secara mutlak karena terbentur hak asasi orang lain. Landasan inilah yang kemudian dijadikan dasar bahwa kebebasan pers harus bertanggung jawab kepada publik. Meskipun memiliki kebebasan berekspresi, namun pers harus menghormati hak-hak orang lain. Kebebasan pers juga tidak boleh melampaui hak pihak lain seperti yang diatur dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, bahwa kebebasan pers dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Keterkaitan antara media massa dan kebebasan pers merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan demi mewujudkan public sphere yang dapat memenuhi hak asasi manusia untuk mendaptkan dan menyampaikan informasi dan pedapatnya secara bebas dan tanpa tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu media massa harus memberikan kebebasan bagi publik untuk memperoleh dan menyampaikan opini mereka.



Daftar Pustaka
Habermas, Jürgen (German(1962) English Translation 1997).The Structural            Transformation           of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of             Bourgeois Society.Cambridge             Massachusetts: The MIT Press.
Hiley, David Randall dan Charles Guignon.2003.Richard    Rorty.Cambridge:Cambridge University Press.
Idris, Naswil & Shelton A. Gunaratne.2000.Handbook of the Media in        Asia.California:Sage   Publications.
McKee, Alan.2005.The Public Sphere: An Introduction.Cambride:Cambride           University.
O'Neill, Shane, "Private Irony and the Public Hope of Richard Rorty's        Liberalism", dalam      Public & Private. Legal, Political, and    Philosophical Perspectives, Maurizio Passerin           d'Entrèves dan Ursula             Vogel (ed), London, Routledge, 2000
Severin, Werner J. dan James W. Tankard, JR. 2005. Teori Komunikasi: Sejarah,    Metode, dan Terapan di dalam Media Massa, Edisi 5. Jakarta: Prenada         Media.
Hidup bukanlah untuk menyesali masa lalu, tapi untuk mensyukuri hari ini dan memandang lurus ke masa depan